Alam adalah tempat disebarkannya hikmah, seperti persemaian benih. Hikmah mengucur dari langit laiknya air hujan, karena itulah ia terserak di segala penjuru alam. Kami ingin mencari hikmah di serakan-serakan itu dan menanamnya kembali semampu kami disini, di Taman Hikmah ini.

**************

Dan, terima kasih sudah datang disini. Salama' apoleangatta...... Welcome...... Ahlan wa sahlan......




Sabtu, September 08, 2007

Berdo'a

Tadi malam, saya mengunjungi seorang teman, acara akikahan anaknya yang keempat. Saya datang bersama istri dan Jilwah, anak kami yang pertama. Senang juga cerita-cerita lagi, mengingat penggalan persitiwa saat kami masih bekerja sama-sama di Semen Bosowa tujuh tahun lalu.

Waktu pulang, saya mendengar seorang motivator di Smart FM. Dia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu motivator itu membaca (lagi) ramalan Joyoboyo bahwa suatu saat nanti di Jawa akan datang suatu kondisi dimana banyak orang yang mabuk berdoa. Dia kemudian tertawa, katanya sekarang sudah banyak orang yang mabuk dalam doa, mabuk dalam pengertian dasar: hilang kesadaran. Saya juga tertawa. Bukankah sekarang banyak orang begitu?

Beberapa waktu lalu, seorang professor di UIN Mks, Qasim Mathar (ah..... saya ingat saya pernah dipanel bersama membahas filsafat Mulla Shadra di UIN...hehehe...), dihalalkan darahnya oleh beberapa tokoh agama Islam di Mks karena beliau mengatakan bahwa kurangilah berdoa (masalah utamanya sih karena dia bilang Paus Paulus Johannes akan masuk surga, dan lain-lain...). Saya baca artikelnya di Fajar. Saya sepaham, Pak Qasim Mathar mengatakan bahwa sekarang banyak orang yang berdoa bukan pada tempatnya.

Saya juga kadang tertawa melihat acara do'a bersama di televisi. Ada Ustadz "nakal" bilang, doa bersama tak lebih dari rekayasa psikologis, ustadz pemimpin doa pura-pura menangis, dan peserta menangis betulan. Ini mungkin keterlaluan. Tetapi mengingat bahwa ada ustadz terkenal yang tidak mau datang di Balikpapan memimpin majelis doa kalau tidak dibayar 40 juta, saya mengaminkan Ustadz nakal ini.

Saya juga berfikir bahwa ada kebiasaan berdoa yang di luar kewajaran. Sekarang kita melihat banyak acara doa istighasah. Ketika ada lumpur lapindo, orang "menyelesaikannya" dengan berdoa; ada bencana, orang berdoa; ada kasus persengketaan tanah dengan pengusaha serakah, dilakukan doa bersama biar menang, dan lain-lain. Yang agak lucu lagi, dan ini yang saya tidak senang: berdoa dilakukan di mesjid, atau di lapangan terbuka, dan suaranya diperdengarkan melalui puluhan pengeras suara dengan volume terbesar ke seluruh penjuru bumi. Tidak berfikirkah kita bahwa mungkin ada orang sekitar yang sedang sakit, atau sedang butuh ketenangan, atau berdoa tidak seperti kita? Tentu suara kita akan mengganggu mereka kan? Paling susah kalau lapangan tempat berdoanya berada di samping rumah rumah sakit, seperti lapangan Merdeka di dekat rumah sakit pertamina di Balikpapan.

Seorang Ustadz pernah menyampaikan sebuah hadis dari Nabi. Katanya, suatu waktu para sahabat Nabi berkumpul di mesjid dan berdoa bersama-sama dengan suara keras. Tentu saja, karena tidak serempak, suaranya menjadi gaduh. Akhirnya Nabi keluar dari dalam rumahnya dan "memarahi" mereka, "janganlah doa kalian mengganggu orang lain."

Jadi kapan kita berdoa? Kita bisa berdoa kapan saja tentunya. Tapi doa itu harus sepadan dengan ikhtiar. Penyelesaian kasus Munir tentu tidak "mempan" hanya dengan kita berdoa, bahkan doa 40 juta orang sekalipun, selama tidak ada ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut. Alih-alih untuk membiayai Ustadz yang harus dibayar 4o juta untuk memimpin doa keselamatan rakyat Balikpapan, mending uang itu kita gunakan untuk membantu membiayai pendidikan anak-anak nelayan miskin. Bukankah begitu?

Berdoa adalah kebutuhan. Merujuk dalil kausalitas, doa adalah salah satu sebab batin yang bisa mempengaruhi akibat, bahkan yang bersifat fisik sekalipun. Akan tetapi, doa harus kongruen dengan ikhtiar, terutama menyangkut sebab fisik yang nyata menjadi syarat dalam tercapainya sesuatu. Kita tidak bisa berdoa agar air mendidih tanpa memanaskannya dengan api sebagaimana kita sia-sia berdoa agar air tidak mendidih padahal kita memanggangnya dengan api 200 derajat celcius.

Dan berdoalah dengan tenang, jangan menganggu orang lain. Menangislah dalam doa, tapi jangan rekayasa. Berdoa adalah posisi terdekat kepada Tuhan, bahkan ada hadis Nabi yang menyebut shalat sebagai doa. Kalau mau lebih dekat lagi, berdoalah di kesunyian di tengah malam dan tidak perlu memperdengarkannya kepada orang lain. Kata hadis, salah satu penghuni surga adalah orang yang meneteskan air mata karena berdoa di kesunyian malam.

Mari kita berdoa bersama-sama, saya disini, Anda di tempat Anda. Kita berdoa bersama untuk kemenangan, keselamatan dan kebahagiaan semua kaum tertindas dan kehancuran kaum penindas. Tetapi kita juga mengangkat "pedang" untuk melawan penindasan secara sosial politik.

Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

2 komentar:

Nia mengatakan...

Setuju! Doa=usaha

Lucas Nasution mengatakan...

konon berdoalah seolah segalanya bergantung pada Tuhan dan berusahalah seolah segalanya bergantung pada dirimu
...another formulation for "ora et labora"

dalam kitab suci ku tertulis: berdoalah dikamar sambil sembunyi dan Bapamu akan membalas padamu.
aku pahami ini undangan untuk menyediakan waktu private dengan Dia. bukan untuk pamer (kata2 doa ku bagus), bukan untuk memohon (Dia sudah tahu apa yang aku perlu), tapi untuk saling memandang

dulu, aku berkata Tuhan mendengar
lalu, Tuhan mendengar aku mendengar
sekarang, aku dan Tuhan diam
hening
dan kami seling memandang
tidak perlu ada kata-2 lagi