Alam adalah tempat disebarkannya hikmah, seperti persemaian benih. Hikmah mengucur dari langit laiknya air hujan, karena itulah ia terserak di segala penjuru alam. Kami ingin mencari hikmah di serakan-serakan itu dan menanamnya kembali semampu kami disini, di Taman Hikmah ini.

**************

Dan, terima kasih sudah datang disini. Salama' apoleangatta...... Welcome...... Ahlan wa sahlan......




Jumat, September 07, 2007

Kesetaraan Gender, Tipuan?

Saya baru pulang shalat Juma't. Seperti biasa, saya mengambil dan membaca buletin yang disediakan di mesjid. Di salah satu buletin itu, ada iklan acara begini:

Bedah Buku
(Khusus Muslimah)
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Tipu Daya Penghancuran Keluarga

Saya termenung sendiri. Apakah memang jargon kesetaraan gender adalah tipuan? Mungkin jawabannya adalah iya. Tapi, saya punya pemaknaan lain.

Sepemaknaan saya, keadilan adalah basis agama-agama. Ia menjadi ajaran paling mendasar dari setiap kepercayaan. Saya menerjemahkan "kesetaraan gender" sebagai "keadilan terhadap perempuan dan laki-laki." Keadilan disini, mencakup seluruh aspek, dari rumah tangga, sosial, politik, ekonomi, tafsir kitab suci, dan lain-lain. Jika kesetaran dan keadilan bisa dianggap semakna, dan bahwa keadilan dalam pengertiannya yang hakiki adalah ajaran agama, mengapa ia dianggap tipuan. Atau bedakah pengertian keadilan antara laki-laki dan perempuan dengan kesetaraan gender?

Dalam pemahaman saya, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, proporsionalitas, ketepatan, dan lain-lain. Kesetaraan, jika bukan pada tempatnya, berarti bukan keadilan dan tentu saja ia bukan kesetaraan. Maka kesetaraan gender yang keluar dari wilayah keadilan dengan sendirinya gugur secara terminologis.

Kalau mau arif, kita mestinya menelusuri sejarah lahirnya jargon kesetaraan gender itu. Setahu saya, istilah ini lahir dari sebuah kondisi sosiologis dan politis yang menempatkan perempuan pada kasta rendah, sebagai objek laki-laki, makhluk sekunder, atau sejenisnya. Perempuan dalam kondisi ini mengalami pengebirian hak-haknya; jangankan sebagai perempuan, hak dasarnya sebagai manusiapun ditiadakan, atau minimal dilemahkan. Walhasil, perempuan itu menuntut haknya. Bukankah perempuan dan laki-laki sama dalam hal politik, hak hidup enak, hak melakukan aktifitas ekonomi, hak menerjemahkan kitab suci, hak menjadi imam, hak menonton acara tv yang mendidik, hak tidur enak di kasur, hak istirahat di rumah? Laki-laki dan perempuan adalah manusia yang sama. Bagi saya, dalam konteks inilah keseteraan gender diterjemahkan.

Ah tidak!, kata teriakan di seberang sana. Sekarang banyak orang yang memaksudkan kesetaraan gender sebagai hak perempuan untuk berkarir, meninggalkan rumah tangga, tidak mau lagi mengurus anak, meninggalkan urusan domestik di rumah, menuntut cerai di pengadilan. Jawab saya, itu konteks lain Bung atau Mbak! Sejatinya, perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki untuk mengejar karir, apalagi hanya menjadi anggota DPR. Perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki di rumah. Carikan saya dalil, atau referensi kitab suci, atau firman Tuhan, yang mengatakan bahwa kewajiban perempuanlah untuk mencuci piring di rumah, untuk tidak menjadi pedagang, bahkan untuk menyusui anak? Saya sudah lama mencari itu....Tidak ada! Ini kita bicara hukum loh ya!

Artinya, sekali lagi, perempuan dan laki-laki, sebagai manusia, punya hak yang sama karena itulah disebut setara. Mereka memang berbeda, tetapi perbedaan itu tidak mengharuskan pembedaan. Pembedaan adalah ketidakadilan sedangkan perbedaan adalah keniscayaan. Karenanya, kita harus mendudukan masalah ini dengan baik.

Jadi, kesetaraan gender menurut saya adalah penegakan sikap adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan adalah makhluk Tuhan yang punya potensi yang sama dengan laki-laki sehingga keduanya jangan dibedakan. Sehingga seandainya saya yang menjadi panitia kegiatan di buletin Jumat yang saya baca itu, saya akan mengganti judulnya menjadi:

Bedah Buku
(Khusus Muslimah)
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Tipu Daya Penghancuran Keluarga?

Atau menjadi

Bedah Buku
(Khusus Muslimah)
Reposisi Kesetaraan Gender
Atau

Bedah Buku
(Khusus Muslimah)
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Sebuah Pemaknaan Ulang
Salam Hangat.......

10 komentar:

fawwaz naufal mengatakan...

mampir ka' ustas.... mau berkomentar soal gender ini, tapi masih malam, masih lingua...hehehe..

ly

Queen Athifah mengatakan...

Makasih Ly atas kedatangannya. Jangan sungkan, masuk saja, ndak usah buka sepatu Nak! hahaha.... (Begitu nabilang kakek dulu). Saya tunggu komenta'...

Anonim mengatakan...

Bertambah lagi satu blog situs terbaik, bahasanya mudah dicerna, mengalir laksana air seperti berbicara langsung dengan penulisnya, namun isinya sangat berkualitas, update dan punya warna tersendiri.

Anonim mengatakan...

Dalam kitab Nahjul balaghah khotbah no 79 yaitu setelah perang Jamal, Iman Ali K.W mewanti wanti untuk tidak menuruti wanita bukan saja dalam urusan yang buruk tapi juga terhadap urusan yang baik, berhubung karena beberapa kelemahannya yang disebut dalam khotbah tersebut. Hal ini berdasarkan pengalaman yang sudah berabad-abad.
Dalam beberapa literatur tentang pandangan imam Ali KW tentang wanita, nada2nya juga seperti itu.
Jadi saya setuju mengenai kesetaraan gender dalam hubungannya dengan hak2 kemanusiaan, tetapi dalam hubungannya dalam pengambilan keputusan (karena kelemahan2nya)tidak boleh di taqliq-i.
Dan menurut saya juga, ini bukan saja berlaku pada wanita tetapi juga pada laki-laki yang bersifat "wanita" he..he..
Bagaimana menurut ta' ustadz

~Darman~

Queen Athifah mengatakan...

Banyak ulama yang mempertanyakan maksud Imam 'Ali di khotbah itu. Tafsir saya, mengikuti tafsir beberapa ulama (sepertinya Mutahhari masuk disini), khotbah Imam Ali itu kontekstual, dia menunjuk kepada pemimpin perang Jamal itu, jadi buka generalisasi. Bahkan, sekarang juga banyak pikiran nakal (yang saya setujui) bahwa perempuan bisa jadi rujukan. Bahwa perempuan tidak bisa jadi Imam bagi laki2 baligh, itu adalah hukum, kita tidak berbicara masalah itu. Jika banyak laki-laki yang tidak sehat akalnya tidak bisa diikuti, dan justru banyak perempuan yang lebih sehat dan mestinya bisa diikuti, lalu apa yang mensyaratkan bisa diikutinya laki-laki atau perempuan? Jawaban saya bukan laki2 atau perempuannya, tetapi akalnya. Kesempurnaan manusia tergantung pada sempurnanya akalnya, bukan pada jenis kelaminnya. Laki-laki dan perempuan itu setara, bahkan di dalam kualitas dan potensi kemanusiannya. Ayatullah Husain Fadhlullah dan Ustadz Jalal memperkuat pendapat ini.

Nia mengatakan...

Kenapakah itu perempuan selalu menuntut kesetaraan? Dari dulu itu-itu saja temanya, GENDER! Kalau perempuan memang bisa,cukup dengan bukti saja. Saya sarankan hentikan saja diskusi gender. Soal boleh-tidaknya perempuan bekerja di ranah publik itu terserah orangnya. Yang jelas manusia punya kewajiban terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.

Lucas Nasution mengatakan...

"Kalau perempuan memang bisa,cukup dengan bukti saja..." (Nia)

yang jadi soal adalah medan yang dihadapi perempuan IMHO tidak netral. Dunia ini dunia yang didominasi pria - analog dengan "dunia ini didominasi kaum bertangan kanan - yang kidal maaf saja harus menyesuaikan diri"

Perempuan yang mau maju harus 2 kali lebih baik dari pria untuk bisa dipertimbangkan. Seperti misal di amerika : atlet berkulit hitam harus 2 kali lebih baik untuk bisa masuk team (mungkin sekarang tidak lagi). And that my friend is one of the issue.

Anonim mengatakan...

Salam Ustadz, menarik membaca tulisanta...nice posting...I like it! - Ida -

Iin Khoirunnisa mengatakan...

Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi tidakuntuk dibeda-bedakan (Puspitawati,2007)

Iin Khoirunnisa mengatakan...

Laki-laki dan perempuan memang berbeda,tetapi tidak untuk dibeda-bedakan (Puspitawati,2007)