Istri saya mempunyai seorang teman, sebutlah Ibu Ninik. Beberapa waktu lalu, Ibu Ninik baru menyelesaikan prajabatan sebagai syarat jadi pegawai negri di Balikpapan. Namun selang beberapa hari dia menyelesaikan prajabatannya, ternyata suami Bu Ninik akan pindah ke Jakarta. Suami Bu Ninik mendapatkan pekerjaan baru dan dia pindah perusahaan. Lalu bagaimana dengan Ibu Ninik? "Sulit sekali loh pindah ke Jakarta kalau masih mau jadi PNS disana," kata temannya. Seorang temannya menimpali, "Apa sih yang dicari suaminya itu, sudah enak-enak kerja di perusahaan minyak, eh, pindah lagi...kan kasian istri dan anak-anaknya"
Sebagian orang menyangka bahwa kerja di perusahaan minyak itu banyak uangnya. Yang lebih parah lagi, banyak orang berfikir bahwa pekerjaan yang baik itu adalah pekerjaan yang gajinya besar. Makanya, jika ada seseorang yang pindah dari perusahaan minyak karena pilihan sendiri, maka dia dianggap tidak bersyukur terhadap apa yang sudah didapatkannya.
Bagi saya, pekerjaan yang baik adalah tempat aktualisasi kreatifitas, mendapatkan appresiasi yang layak, memberikan tantangan untuk proses pendewasaan, sumber untuk menafkahi keluarga, dan yang pasti memberikan ketenangan dan kebahagiaan baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Bekerja di perusahaan minyak, atau di perusahaan tambang multi nasional, bukanlah jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Jika salah satu aspek di atas sudah mengalami pelapukan, maka saya sudah punya satu alasan untuk mencari pekerjaan lagi, tidak perduli berapa benefit material yang saya peroleh sekarang.
Selain itu, saya menganggap bahwa mencari sesuatu yang lebih baik adalah kewajiban setiap orang. Itu saya sebut komitmen untuk menyempurna terus menerus. Karena prinsip ini, saya merasa berkewajiban untuk memperbaiki hasil kerja saya. Akan tetapi, jika di tempat kerja sekarang proses perbaikan itu sudah tidak bisa dilakukan, maka sudah saatnya saya menyiapkan diri untuk hijrah. Saya mengkritik orang-orang yang terlalu cepat "bersyukur" yang walaupun di tempat pekerjaannya dia selalu ditindas, dia diam saja karena takut dianggap tidak bersyukur. Syukur itu harus proaktif. Bentuk syukur yang diam, stagnan dan melanggengkan penindasan adalah wujud syukur dan sabar yang kehilangan makna.
Oleh karena itu, jika besok atau lusa saya meninggalkan pekerjaan saya yang dianggap orang sudah sangat bagus, saya pasti punya alasan dari aspek-aspek yang saya sebutkan di atas. Tetapi tentu saja saya tidak akan memilih opsi yang lebih buruk. Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa saya hanya berkomitmen mencari sesuatu yang lebih baik. Dan dalam mencari yang lebih baik itu, saya pasti menempatkan pertimbangan keluarga di atas segalanya.
Balikpapan, 14 September 2007
6 komentar:
membaca cerita ta'
saya jadi ingat teman yang ini : http://daengrusle.com/...hampir sama caranya memandang sebuah pekerjaan...
tapi, memang tawwa..sy juga setuju...
untuk apa bergaji tinggi kalo cuma untuk ditindas, apalagi kalo gajinya rendah...ampyuunn...
Makasih banyak Iful sudah berkunjung. Intinya sebenarnya bukan penindasan di t4 kerja. Tp kalo kita bisa dapat kerjaan yang lebih bagus, kenapa ndak diambil. Begitu toh? Kan haruski' selalu cari yang lebih baik.
Ust cari pembelaan nih.
Kayaknya buat pembelaan ini, hehe
Assalamu Alaikum Wr Wb.
Sepakat dengan ide yang satu ini.
yg penting banyak2 bersyukur...:)
Posting Komentar