Kemarin, 8 Nopember 2007, saya bersama lima orang teman, memenuhi panggilan kejaksaan untuk memberikan kesaksian atas "laporan masyarakat" perihal penyelewengan pembelian barang di lingkungan perusahaan. Sayangnya, tidak disebutkan siapa yang melaporkan. Kata teman dari legal advisor, menurut hukum, memang bisa begitu.
Kami datang, sesuai surat undangan, pada jam 9 pagi. Sekitar jam 10-an, barulah salah seorang teman dipanggil ke dalam ruangan interview. Dan saya, baru dapat giliran pada jam 2.30 sore. Bayangkan, saya duduk disana dari jam 9 pagi sampai 2.30 sore itu for waiting. Saya berfikir, betapa tidak produktifnya saya hari ini, celakanya saya tidak membawa satu bukupun untuk dibaca. Akhirnya saya membunuh kejenuhan dengan cerita sama teman, dan sesekali main game di handphone.
Tiba juga akhirnya giliran saya. Saya langsung disodori beberapa pertanyaan tulisan. Selanjutnya, saya harus menjawab pertanyaan secara lisan yang akhirnya jawaban lisan saya tulis kemudian, atas permintaan penyidik. Ah, menjawab dua kali pikirku. Ini beberapa cuplikan interviewnya
"Pak Mustamin, tahu project North Bravo?"
"Project yang mana Mas? (saya memanggil Mas karena saya anggap penyidiknya masih muda. Ini cara saya memanggil orang). North Bravo itu salah satu anjungan. Disana sudah banyak project sejak 30 tahun lalu. Nah, maksud pertanyaan ini project apa? Bisa membantu dengan sedikit penjelasan?"
"Ya project North Bravo?"
"Wah, kalau semuanya saya tidak tahu Mas. Saya mulai bekerja disana pertengahan tahun 2004 sampai pertengahan 2007. Dalam kurun waktu itu, saya bisa ceritakan karena sayalah project leadernya."
"Coba ceritakan salah satunya saja."
"Yang mana Mas? Dalam surat pemanggilan, saya tidak tahu dipanggil karena project yang mana. Saya juga ini bingung? Tapi kalau menyebut satu contoh selama masa kerja saya, bisa; cuman, apakah ini maksud pemanggilan ini atau tidak, saya juga tidak tahu."
Saya melihat jaksanya agak pusing juga. Saya kemudian mencairkan suasana setelah melihat foto-foto pelapor yang ada di depan jaksa muda itu.
Walhasil, wawancara berlangsung begitu-begitu saja, penanya tidak tahu apa yang ditanyakan; sementara yang ditanya juga tidak tahu maksud pertanyaan. Jaksa telah menerima laporan dari masyarakat, tetapi mereka tidak punya cara memverifikasi dan bagaimana cara menindaklanjuti laporan itu, khususnya dari sisi teknis. Dalam wawancara ini saya berkali-kali menyampaikan, saya berbicara bukan sebagai saksi fakta, karena mereka menanyakan hal-hal yang sama sekali saya tidak terlibat di dalamnya, sebuah project yang dieksekusi jauh sebelum saya masuk ke perusahaan saya sekarang. Tetapi mungkin, pelaksanaan hukum di negri ini begitu.
Di warung makan, saya ngobrol dengan teman legal advisor yang menemani kami. Katanya, hukum perdata dan pidana kita masih banyak mengadopsi hukum Belanda yang bahkan di Belanda sendiri sudah diperbarui lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saya sempat komplein bahwa saya telah menghabiskan waktu seharian disini, tidak membuat apa-apa, dibiarkan, tidak "diberi" apa-apa, tidak ada kompensasi sedikitpun. Ini ada opportunity lost, kataku sedikit jago. "Tidak, sebenarnya ada uang transport untuk setiap orang yang dipanggil bersaksi, tapi Pak Mus mau dikasih Rp. 25?" demikian penjelasan dan pertanyaan teman yang tidak perlu saya jawab.
Dalam pandangan saya, mestinya kejaksaan itu punya orang teknik, ekonomi, IT, dan lain-lain di dalam tim penyidikan. Dalam kasus yang saya datangi ini, sepertinya jaksa tidak mengerti yang ditanyakannya. Saya yang malah cenderung men-drive percakapan. Walhasil, penyidikan tidak mendapatkan hasil. Selain itu, saya pikir semua laporan harus diverifikasi dulu kepada pelapornya sebelum ditindaklanjuti. Bahkan, menurut saya, bagusnya pelapor dihadirkan bersama dengan saksi seperti saya ini, agar jelas tujuan pertanyaan dan penyidikannya. Sayang, hukum kita tidak mensyaratkan itu, katanya untuk melindungi pelapor katanya. Tapi mestikah begitu?
Ternyata hukum seperti itulah. Bentuknya sangat harfiah. Semua orang bisa "berkelit" bahkan "memelintir" teks. Maka tidak heran jika pelaku illegal logging kemudian bebas dan anehnya hakim mengatakan bahwa mereka siap mempertanggungjawabkan keputusan mereka secara hukum. Tentu saja, mereka lebih mengerti hukum. Dan hukum tidak mengenal perasaan.
1 komentar:
oh kammanjo parner...sy kira amangmi kalao Jaksa bisa di"driven" artinya negara ini bisa dikelola seenak dhewe hehehhe. Dan, negara memang tidak pernah benar2 serius utk mengurus warga dan sumberdayanya...
Posting Komentar