Seorang filosof psikolog abad ini pernah mengatakan, untuk menemukan kembali kebahagiaannya, orang-orang tua harus belajar kepada anak-anak. Mengapa? Karena pada anak-anaklah terdapat ciri-ciri yang paling penting dari orang bahagia: tulus meminta maaf, ikhlas memaafkan, punya rasa empati yang tinggi, dan lain-lain. Anak-anak yang berkelahi lima menit yang lalu, bisa langsung berbaikan sekarang. Dalam satu ruangan yang banyak anak-anak, jika salah seorang dari mereka menangis, maka anak yang lainpun akan menangis tanpa perlu tahu sebab dari tangisan teman mereka. Dalam kasus pertama karena anak-anak tulus memaafkan, memilih kebahagiaan di atas keadilan; dan dalam kasus kedua karena anak-anak memiliki empati yang tinggi.
Tapi di dunia nyata, bukan hanya sisi psikologi personal orang tua harus belajar sama anak-anak. Dalam hal yang paling kecilpun, ternyata orang tua juga harus belajar kepada anak-anak mereka.
Hari minggu lalu tanggal 20 Januari 2008, saya ke Gramedia Balikpapan bersama anak saya, Jilwah. Saat kami lagi berdiri di antrian yang panjang untuk bayar buku, tiba-tiba seorang ibu yang memakai jilbab dan dua orang anaknya nyelonong di depan kami. Dia pura-pura acuh sama saya, walaupun saya sudah sengaja batuk-batuk sebagai isyarat dan sudah menyiapkan teguran mata jika dia melihat ke saya, tetapi dia tetap membelakangi saya. Walhasil, batuk-batuk dan tatapan mata saya hasilnya sama: nihil!
Tapi saya terharu ketika mendengar anaknya yang laki-laki menegur si ibu. "Ma, antri dong. Mestinya kita dari belakang loh Ma, tuh antriannya panjang!" Ibunya diam saja. Karena sang anak menegur ibunya untuk kedua kalinya, sang ibu langsung "memindahkan" anaknya mirip presiden yang langsung mendutabesarkan staf yang tidak disukainya dulu. "Sudah, kamu di kasir sana saja, bayar sendiri belanjaannya," demikian perintah sang ibu. Akhirnya dua anak itu membawa belanjaannya masiang-masing lalu pindah ke kasir lain yang antriannya lebih pendek.
Saya masih melihat ibu itu dari belakang ketika dia membayar buku yang dibelinya: sebuah kamus dan buku Cerita 25 Nabi dan Rasul. Semula saya befikir ibu itu membeli buku 25 Nabi dan Rasul agar anak-anaknya bisa belajar hikmah dari kisah para nabi. Tapi dengan kejadian itu, saya mengganti asumsi. Saya pikir, Ibu itu yang membutuhkan kisah Nabi dan Rasul, agar dia bisa belajar keteraturan dan ketertiban. Bukankah salah satu misi para nabi adalah mengajarkan keteraturan?
Sekali lagi, dalam hal yang sangat kecilpun, anak bisa menjadi guru bagi orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar