Alam adalah tempat disebarkannya hikmah, seperti persemaian benih. Hikmah mengucur dari langit laiknya air hujan, karena itulah ia terserak di segala penjuru alam. Kami ingin mencari hikmah di serakan-serakan itu dan menanamnya kembali semampu kami disini, di Taman Hikmah ini.

**************

Dan, terima kasih sudah datang disini. Salama' apoleangatta...... Welcome...... Ahlan wa sahlan......




Jumat, September 21, 2007

Salah Makna

Seperti rutinnya, hari ini saya ikut shalat Jumat. Tentu saja saya menyimak khotbah khatib dengan teliti. Beliau membahas perihal memuliakan ramadhan dengan puasa dan tarawih, sambil mengutip ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi dengan bahasa Arab yang fasih.

Tapi ada yang menarik dari ceramah khatib tadi. Dia mengutip sebuah hadits yang mengatakan, "barangsiapa yang melakukan shalat tarawih di bulan ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya yang terdahulu."

Saya tahu betul, seperti yang dikutip oleh khatib dalam bahasa Arabnya, bahwa hadits yang disebutkan itu menggunakan kata qiyam yang diterjemahkan oleh khatib sebagai shalat tarawih. Padahal kalau kita mau teliti, pengertian qiyam dan shalat tarawih sangat jauh berbeda. Secara harfiah, qiyam berarti berdiri, atau mendirikan shalat secara umum, sedangkan shalat tarawih menunjuk kepada shalat khusus yang dilakukan secara berjamaah di bulan puasa seperti yang kita kenal. Karena banyaknya shalat yang bisa dilakukan di malam-malam ramadhan, tentu kata qiyam bukan bermakna shalat tarawih saja dalam hadits itu. Namun demikian, karena khatib menerjemahkan hadits itu dengan lancar, hal itu memberikan kesan bahwa memang kata qiyam itu terjemahannya "hanyalah" shalat tarawih saja. Sayangnya, khatib tidak mengurai dan menjelaskan hal ini di bagian selanjutnya.

Saya menemukan, tidak sedikit penghotbah, atau Ustadz, yang menerjemahkan bahasa sumber-sumber pertama ke dalam bahasa Indonesia dengan "caranya" masing-masing. Masalahnya, sering sekali penerjemahan itu melencengkan maksud dari kata yang sebenarnya. Bayangkan misalnya pelencengan yang bisa terjadi jika satu kata atau kalimat yang bermakna umum diterjemahkan ke dalam arti yang khusus. Bahkan yang lebih buruk lagi, penerjemahan satu kata jelas-jelas berbeda di dalam kata asalnya. Di Tembagapura dulu, ketika seorang Ustadz menegaskan pelarangan ziarah kubur dengan mengutip hadits, "Nabi melarang safar kecuali ke tiga tempat, masjidil haram, masjidil aqsa dan masjid Nabi," saya kemudian bertanya, "mana kata kubur di hadits itu? kenapa pula kata safar dimaknai ziarah kubur?, bukankah safar artinya perjalanan dalam pengertian umum?" Waktu itu Ustadznya tidak bisa menjawab.

Di dalam ilmu fiqh, tindakan Ustadz yang membuat kesimpulan (sendiri) dalam penarikan hukum, dan mungkin ini termasuk penerjemahan yang berimplikasi hukum, disebut qiyas. Sebagian besar ulama menolak qiyas sebagai sumber hukum, kecuali Abu Hanifah. Tetapi dalam prakteknya, seperti di mesjid tadi, sering kita jumpai "kesalahan kecil" yang bisa berimplikasi besar.

Saya tidak ingin membahas tentang fiqh shalat tarawih atau bermaksud menyerang khatib tadi, tetapi saya ingin mengajak untuk memberikan pendidikan yang benar kepada ummat. Khatib, atau ustadz, adalah orang yang dijadikan panutan dan rujukan oleh masyarakat. Jika kita tidak memberikan informasi yang jelas, kita akan membawa masyarakat juga ke jalan yang tidak jelas.

Mestinya, kita harus berhati-hati ketika menyampaikan hukum, atau mungkin ajakan, kepada masyarakat. Jika memang tidak tahu, mungkin lebih baik diam. Atau ada yang paling bagus menurut saya: sampaikanlah semua mazhab fiqh tentang satu hal, lalu biarkanlah masyarakat yang memilih mazhab apa yang akan diikutinya. Bukankah itu lebih baik?

Mustamin al-Mandary, 21 September 2007, 9 Ramadhan 1428H, 14:56

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Harusnya memang ustadz kita mengapdate ilmu-nya dan terutama sebelum semua itu adalah menghilangkan fanatisme mazhab atau pemahaman turun temurunnya, terbuka menerima kebenaran dari sudut pandang lain, apalagi kalau sudut pandang lain itu sangat masuk akal (setelah di kritisi) dan dilengkapi dengan bukti-bukti yg lengkap.
semoga kedepannya kita tidak lagi mendengar ceramah2 atau kotbah2 seperti memutar kaset saja.

Queen Athifah mengatakan...

Makasih Sappo'. Ya begitulah. Tapi sampai kapan ya?